Saturday, May 14, 2016

SANDIWARA FILM NEGARA.

Barang tiap pagi, siang, sore menjelang malam, sampai larut malam tiba, kunikmati tiap detik perjalanannya dengan menonton film-film yang baru aku beli di salah satu penjual DVD, di care**ur rungkut, surabaya. Ku tonton film-film tersebut dengan sangat antusias. Alasannya, karena aku suka dengan penggambaran kehidupan manusia yang ditampilkan dengan cara memelintir ke berbagai sudut pandang. Semua film-filmku tersebut, bercerita tentang kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang diceritakan dengan sentuhan semi fiksi yang apik, bahkan dengan sentuhan, pure fiksi. Aku suka sekali. Meski terkadang ketika tengah asik menonton, seakan ku giring sendiri diriku, pergi menjauh dari kehidupan nyataku. Itu kekeliruanku.

Namun, Bertolak dari hal itu, aku punya alasan tersendiri, mengapa aku suka menonton film yang sebetulnya hanya rangkaian adegan-adegan dengan alur cerita yg telah diskenario; 'aku suka melihat kebohongannya, karena tampak nyata. Memuji sang maestro, karena kepiawaian mengolah cerita, lantas menampilkannya seakan-akan cerita itu ada'. Jujur ku akui, aku sebetulnya juga sudah tahu. Bukan hanya kebohongan ceritanya, melainkan juga, semua kebohongan ekspresi dan feel tokoh-tokoh yang tampil. Mereka semua dibayar untuk itu. Dibayar untuk bohong sebagai lakon dalam tiap cerita. Tapi apa mau dikata, di kehidupanku yang saat ini, tidak ada orang yang mau memberikan cerita yang nyata tentang kehidupan ini. Selalu saja banyak kebohongan. Dan alangkah lebih baik menurutku, menonton cerita dalam film yang sebetulnya sama bohongnya, tapi masih diuntungkan dengan melihat paras ayu para aktris yang muncul. Mungkin bisa aku sebutkan satu nama 'Gal Gadot'. Aku suka senyumnya.

Tapi, sesekali, dari rangkaian waktu yang ku lalui saban hari untuk menonton film tersebut, ku sisakan sedikit untuk mendengar cerita tentang negaraku ini. Pada Satu sesi, kudengar cerita tentang jakarta yang ramai mempermasalahkan Reklamasi. Dan bersamaan dengan itu juga, cerita tentang PILKADA malah lebih menyemarakkan cerita seputar jakarta. Lakon-lakonya saling tuding. Saling berusaha keras, untuk menggambarkan fakta melalui cerita yang sarat akan berbagai macam sudut pandang. Dan selanjutnya lagi, di sesi kedua, ada cerita tentang malangnya nasib gadis-gadis belia yang harus menjadi bahan berkalangnya nafsu birahi pria-pria bejat. Kasus demi kasus, mencuat ke permukaan. Si pencerita; Penegak hukum, pada garang. Kritikus, pada geram. Para negarawan, pada perhatian. Masyarakat umum, pada murka. Dan terdengar jelas di telingaku, tangisan lirih korban berjatuhan. Satu fakta yang kudengar dengan alur cerita yang kaya akan sudut pandang dari si pencerita, dan kaya pula akan ekspresi lakon-lakon yang menampilkannya.

Dan di sesi ketiga, kudengar cerita yang ternyata lebih heroik dari cerita-cerita sebelumnya. Cerita itu berisi, sebuah gambaran kehidupan negaraku yang menurut cerita itu juga, sedang dalam keadaan bahaya. Akan ada kaum komunis yang lahir kembali dengan wajah barunya. Si pencerita, dengan berapi-api menceritakan dengan slogan 'Bahaya Laten Komunisme'. Para aparat tampil menjadi lakon yang sigap dan tanggap. Ekspresi mereka tidak diragukan lagi. Para penegak hukum, seperti mendapat tugas adegan, dengan bertumpu pada filosofi keadilan. Membabat habis semua bentuk ketidakadilan dengan menggunakan pedang keramat dewi themis. Para politisi, menyampaikan, dengan jalan cerita menggunakan epik-epik bermutu para tokoh-tokoh politik terdahulu. Mengutip sejarah, layaknya hafalan, agar terkesan tahu sejarah. Ormas-ormas, dengan gagah berani, atas nama Cinta dan kasih atas tanah yang dipijak sekarang. Bercerita dengan jalan cerita yang amat patriotik. Lalu, Kaum agamawan, dengan rendah hati namun tegas, bercerita dengan jalan cerita yang sama sekali beda. Beda dari sisi penyampaian yang lembut, welas asih, dan bersahaja. Menjelaskan dari sisi metafisis, yang sekali lagi, semakin menambah sudut pandang yang digunakan.
Dan Begitu seterusnya.

Aku mendengar cerita tentang kabar negaraku, dari berbagai sudut pandang. Persis, seperti sudut pandang yang sering digunakan dalam sebuah film. Sehingga membuatku sulit untuk meyakini cerita mereka. Lantas, apa benar cerita-cerita tersebut tak ubahnya seperti cerita dalam sebuah film? Diceritakan kembali dengan wujudnya yang beda. Mereka bercerita, layaknya diilhami oleh idea yg mulia. Menjadikan fakta sebagai bahan primer untuk sebuah karya cerita. Kemudian tak lupa, Ada pihak-pihak yang bertugas sebagai sutradara, lakon, penyusun skenario, bahkan pemeran pembantu. Dan aku sendiri, sebagai penontonnya. Jika memang benar, betapa malangnya aku. Sebagai penikmat film justru disugukan cerita yang sebetulnya hanya untuk menutupi cerita yang sesungguhnya. Aku pikir, tidak Harus seperti itu bercerita tentang negaraku. Bercerita tentang negara berdasarkan cinta akan tanah berpijak ini, tak payah lah harus menggunakan skenario yang berbelit-belit. Cukup ceritakan saja faktanya, dan semuanya akan indah pada waktunya. Tentu saja, bukan berakhir indah seperti dalam sebuah film. Sekali lagi, akhir cerita dalam sebuah film itu, hanya kebohongan belaka.

selengkapnya mampir kesini : http://contatoeduartes.blogspot.com

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home